B.
KERAJAAN ISLAM DI JAWA
4. Kerajaan (Kesultanan) Cirebon
Kesultanan Cirebon berkuasa pada abad XV hingga abad XVI M. Letak
kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau jawa. Secara geografis
berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dan ini membuat kesultanan Cirebon
menjadi “perantara” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon
muncul budaya yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh
kebudayaan Sunda maupun kebudayaan Jawa.
Kesultanan Cirebon dimulai dari Ki Gedeng Tapa, yaitu seorang
saudagar di pelabuhan Muarajati. Pondasi Kesultanan Cirebon dimulai tanggal 1
sura 1358 tahun jawa atau bertepatan dengan tahun 1445 M dan mulai saat itu
menjadi daerah yang terkenal dengan nama desa Caruban. Kuwu atau Kepala desa
pertama adalah Ki Gedeng Alangalang dan wakilnya adalah Walangsungsang.
Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan nyi Mas Subanglarang (putri Ki
Gedeng Tapa). Walangsungsang yang bergelar Cakrabumi diangkat menjadi Kuwu
setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk
pemerintahan Cirebon. Dengan demikian kesultanan Cirebon didirikan oleh
pangeran Cakrabuana. Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut
Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah
istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.
Pada tahun 1479 M, kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh
keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat,
Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau juga bergelar
Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman
Khalifatu Rasulullah. Pada perkembangan berikutnya ternyata banyak yang
meyakini bahwa Syarif Hidayatullah adalah pendiri dinasti kesultanan Cirebon
dan Banten, kemudian menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh,
Sunda Kelapa, dan Banten. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah
kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Kosongnya
kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah yang kemudian naik tahta, secara
resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568. Sayangnya hanya dua tahun
Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.
Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh cucu Sunan Gunung
Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan Ratu I,
dan memerintah cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan Ratu I
meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh
cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan sebutan Panembahan
Ratu II atau Panembahan Girilaya. Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan
Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya,
Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan
Girilaya ditahan di Mataram. Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadilah
kekosongan penguasa. Panembahan Girilaya meninggalkan Tiga Putra, Yaitu
Pangeran Murtawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.
Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah
menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya,
yakni:
a. Pangeran Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar
Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar
c. Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
d. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton
Cirebon dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan
Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra
tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya
dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibu kota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai
wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran
Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak
memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai
kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.
Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan
lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Saat itu
terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran Raja
Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama
kesultanan Kacirebonan. Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda
yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. Sejak saat itu, di
Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan.
Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama
Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sesudah kejadian tersebut,
pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon,
sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah
kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahuntahun 1906 dan 1926,
ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
pengesahan berdirinya Kota Cirebon.
5.
Kerajaan (Kesultanan) Banten
Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak
merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten
yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan
salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara
(Tangerang), Sunda Kelapa dan Cimanuk. Putera dari Sunan Gunung Jati
(Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan
dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua
menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Puncak kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan
Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu
Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian
Banten maju pesat. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800
Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682,
wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji
kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang
berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian
tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan
lada di Lampung Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah
kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan
dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks
dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William
Daendels tahun 1808. Para pemimpin Kesultanan Banten adalah sebagai berikut :
a) Sunan Gunung Jati
b) Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
c) Maulana Yusuf 1570 - 1580
d) Maulana Muhammad 1585 - 1590
e) Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640
f) Sultan Abu al Ma’ali Ahmad 1640-1650
g) Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
h) Sultan Abdul kahar 1683-1687
i) Sultan Fadhl atau Sultan yahya 1687-1690
j) Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
k) Muhammad Syifa Zainul Arifin/Sultan Arifin (1750-1752)
l) Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
m)Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
n) Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
o) Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
p) Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
q) Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
r) Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
s) Aliyuddin II (1803-1808)
t) Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
u) Muhammad Syafiuddin (1809-1813).
No comments:
Post a Comment