Friday, October 18, 2019

KELAS XII : PERTEMUAN KE 9 (KERAJAAN ISLAM DI JAWA I)

B. KERAJAAN ISLAM DI JAWA

4. Kerajaan (Kesultanan) Cirebon

Kesultanan Cirebon berkuasa pada abad XV hingga abad XVI M. Letak kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau jawa. Secara geografis berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dan ini membuat kesultanan Cirebon menjadi “perantara” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon muncul budaya yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Sunda maupun kebudayaan Jawa.

Kesultanan Cirebon dimulai dari Ki Gedeng Tapa, yaitu seorang saudagar di pelabuhan Muarajati. Pondasi Kesultanan Cirebon dimulai tanggal 1 sura 1358 tahun jawa atau bertepatan dengan tahun 1445 M dan mulai saat itu menjadi daerah yang terkenal dengan nama desa Caruban. Kuwu atau Kepala desa pertama adalah Ki Gedeng Alangalang dan wakilnya adalah Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan nyi Mas Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Walangsungsang yang bergelar Cakrabumi diangkat menjadi Kuwu setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana.

Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian kesultanan Cirebon didirikan oleh pangeran Cakrabuana. Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.

Pada tahun 1479 M, kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau juga bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatu Rasulullah. Pada perkembangan berikutnya ternyata banyak yang meyakini bahwa Syarif Hidayatullah adalah pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, kemudian menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah yang kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568. Sayangnya hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.

Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan Ratu I, dan memerintah cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan Ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya. Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya ditahan di Mataram. Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadilah kekosongan penguasa. Panembahan Girilaya meninggalkan Tiga Putra, Yaitu Pangeran Murtawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.

Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya, yakni:

a. Pangeran Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)

b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar

c. Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)

d. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton Cirebon dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibu kota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.

Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan Kacirebonan. Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahuntahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon.

5. Kerajaan (Kesultanan) Banten

Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kelapa dan Cimanuk. Putera dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Puncak kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808. Para pemimpin Kesultanan Banten adalah sebagai berikut :

a) Sunan Gunung Jati

b) Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570

c) Maulana Yusuf 1570 - 1580

d) Maulana Muhammad 1585 - 1590

e) Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640

f) Sultan Abu al Ma’ali Ahmad 1640-1650

g) Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680

h) Sultan Abdul kahar 1683-1687

i) Sultan Fadhl atau Sultan yahya 1687-1690

j) Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)

k) Muhammad Syifa Zainul Arifin/Sultan Arifin (1750-1752)

l) Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)

m)Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)

n) Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)

o) Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)

p) Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)

q) Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)

r) Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)

s) Aliyuddin II (1803-1808)

t) Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)

u) Muhammad Syafiuddin (1809-1813).

No comments:

Post a Comment

KELAS XII : PERTEMUAN KE 13 (Perjuangan Umat Islam Pada Masa Penjajahan)

A. PERAN UMAT ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN DAN KEMERDEKAAN Penjajah datang ke Indonesia sejak awal abad ke-15. Kedatangan bangsa Portugis da...