Friday, October 18, 2019

KELAS XII : PERTEMUAN KE 11 (Kerajaan Gowa - Tallo)

E. Kerajaan Gowa - Tallo

Kultur Kerajaan Gowa - Tallo tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Setelah Kerajaan Gowa-Tallo memeluk Islam, penyebaran Islam di Sulawesi dan bagian timur Indonesia sangat pesat. Kerajaan ini adalah kerajaan yang menerapkan syariah Islam. Karena itu, wajar kalau Gowa ini dikenal sebagai “Serambi Madinah”.

Keberhasilan penyebaran Islam terjadi setelah memasuki awal Abad XVII dengan kehadiran tiga orang mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau. Lontara Wajo menyebutkan bahwa ketiga datuk itu datang pada permulaan Abad XVII dari Koto Tangah, Minangkabau. Mereka dikenal dengan nama Datuk Tellue (Bugis) atau Datuk Tallua (Makassar), yaitu: (1) Abdul Makmur, Khatib Tunggal, yang lebih populer dengan nama Datuk ri Bandang; (2) Sulaiman, Khatib Sulung, yang lebih populer dengan nama Datuk Patimang; (3) Abdul Jawad, Khatib Bungsu, yang lebih dikenal dengan nama Datuk Ri Tiro.

Sesampainya di Gowa, mereka memperoleh keterangan dari orang-orang Melayu yang banyak tinggal di Gowa, bahwa raja yang paling dimuliakan dan dihormati adalah Datuk Luwu’, sedangkan yang paling kuat dan berpengaruh ialah Raja Tallok dan Raja Gowa. Mereka berangkat ke Luwu untuk menemui Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu. Datuk Luwu adalah raja yang paling dihormati, karena kerajaanya dianggap kerajaan tertua dan tempat asal nenek moyang rajaraja Sulawesi Selatan. Kedatangan Datuk Tellue mendapat sambutan hangat dari Datuk Luwu’, La Patiware Daeng Parabu.

Sejak agama Islam menjadi agama resmi di GowaTallo’, Raja Gowa Sultan Alauddin makin kuat kedudukannya. Sebab, beliau juga diakui sebagai Amirul Mukminin (kepala agama Islam) dan kekuasaan Bate Salapanga diimbangi oleh Makam raja-raja Goa-Tallo Qadhi, yang menjadi wakil raja untuk urusan keagamaan bahkan oleh orang-orang Makassar, Bugis dan Mandar yang telah lebih dulu memeluk agama Islam pada abad XVI.

Sultan Alauddin dipandang sebagai pemimpin Islan di Sulawesi Selatan. Ada pendekatan unik yang dilakukan oleh oleh Sultan Alauddin dan Pembesar Kerajaan Gowa yaitu mengingatkan perjanjian persaudaraan lama antara Gowa dan negeri atau kerajaan yang takluk atau bersahabat yang berbunyi antara lain: barangsiapa di antara kita (Gowa dan sekutunya atau daerah taklukannya) melihat suatu jalan kebajikan, maka salah satu dari mereka yang melihat itu harus menyampaikan kepada pihak lainnya. Dan oleh karena Gowa sekarang sudah melihat jalan kebajikan, yaitu agama Islam, maka Kerajaan Gowa meminta kepada kerajaan-kerajaan taklukannya agar turut memeluk agama Islam

 


KELAS XII : PERTEMUAN KE- 10 (Kerajaan Islam di Kalimantan & Nusa Tenggara)

C. Kerajaan Islam di Kalimantan

Walau Tidak banyak literatur yang menjelaskan tentang sejarah keberadaan Islam di Kalimantan namun namun paling tidak bisa memberikan titik terang tentang keberadaan Kerajaan Daha (Banjar). Pada awal abad XVI, Islam masuk ke kalimantan Selatan, yaitu di Kerajaan Daha (Banjar) yang waktu itu beragama Hindu. Berkat bantuan dari Sultan Demak, trenggono (1521-1546 M) Raja Daha dan rakyatnya memeluk agama Islam, sehingga berdirilah kerajaan Islam Banjar dengan raja pertamanya yaitu Pangeran Samudera yang bergelar Pangeran Suryanullah atau Suriansah. Setelah naik tahta, daerah-daerah sekitanya mengakui kekuasaaanya yakni daerah Batangla, Sukaciana, Sambas dan Sambangan. Kemudian setelah itu di kalimantan Timur (Kutai) pada tahun 1575 M Tunggang Parangan mengislamkan raja Mahkota. Sejak baginda masuk Islam, terjadilah Islamisasi di Kutai dan sekitarnya. Setelah itu, penyebaran Islam lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan oleh putranya dan para penggantinya meneruskan dakwah sampai di daerah-daerah yang lebih dalam.

 

D Kerajaan Islam di Nusa Tenggara

Perkembangan Islam di Nusa Tenggara dimulai sejak abad XVI M dikenalkan oleh Sultan Prapen (1605), putra sunan Giri. Dimulai dari Lombok kemudian Islam menyebar ke Pejanggik, Parwa, Sokong, Bayan dan tempat-tempat lainnya hingga seluruh Lombok memeluk agama Islam. Dan dari Lombok juga, Sunan Prapen menyampaikan dakwahnya hingga ke Sumbawa. Di Lombok berdiri Kerajaan Selaparang dan di bawah pemerintahan Prabu Rangkeswari itulah kerajaan ini mengalami masa keemasan, selain itu juga memegang kekuasaan di seluruh Lombok. Selaparang juga menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan Islam seperti Demak. Kerajaan Selaparang juga sering dikunjungi para pedagang, sehingga interaksi masyarakat muslim semakin baik.

Pada saat VOC berusaha menguasai jalur perdagangan, Kesultanan Gowa berusaha untuk menutup jalur perdagangan VOC ke Lombok dan Sumbawa. Kerajaan-kerajaan di Sumbawa banyak yang masuk dalam kekuasan Kesultanan Gowa pada sekitar tahun 1618, Bima dikuasai Gowa tahun 1633 dan Selaparang tahun 1640, demikian juga daerah-daerah yang lain dikuasai oleh Kesultanan Gowa pada abad XVII. Hubungan antara kesultanan Gowa dan Lombok pun dipererat dengan cara perkawinan seperti Pemban Selaperang, Pejanggik dan Parwa. Di antara Kerajaan Islam yang menonjol di Nusa Tenggara adalah Kesultanan Bima. Rajanya yang pertama adalah Ruma Ma Bata Wadu yang bergelar Sultan Bima I atau Sultan Abdul Khair (1611-1640). Literatur mengenai sejarah Kesultanan Bima di abad XX dapat diperkaya pada gambaran terperinci Syair Kerajaan Bima. Syair Kerajaan Bima mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Kesultanan Bima pada kurun 1815-1829. Ada empat kejadian yang diceritakan dalam syair tersebut: wafatnya sultan, diangkatnya penggantinya, serangan perompak dan meletusnya Gunung Tambora. Syair Kerajaan Bima dikarang seorang khatib yang bernama Lukman, yang masih merupakan kerabat Sultan Bima, sekitar tahun 1830.

KELAS XII : PERTEMUAN KE 9 (KERAJAAN ISLAM DI JAWA I)

B. KERAJAAN ISLAM DI JAWA

4. Kerajaan (Kesultanan) Cirebon

Kesultanan Cirebon berkuasa pada abad XV hingga abad XVI M. Letak kesultanan cirebon adalah di pantai utara pulau jawa. Secara geografis berbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat dan ini membuat kesultanan Cirebon menjadi “perantara” antara kebudayaan Jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon muncul budaya yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Sunda maupun kebudayaan Jawa.

Kesultanan Cirebon dimulai dari Ki Gedeng Tapa, yaitu seorang saudagar di pelabuhan Muarajati. Pondasi Kesultanan Cirebon dimulai tanggal 1 sura 1358 tahun jawa atau bertepatan dengan tahun 1445 M dan mulai saat itu menjadi daerah yang terkenal dengan nama desa Caruban. Kuwu atau Kepala desa pertama adalah Ki Gedeng Alangalang dan wakilnya adalah Walangsungsang. Walangsungsang adalah putra Prabu Siliwangi dan nyi Mas Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Walangsungsang yang bergelar Cakrabumi diangkat menjadi Kuwu setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal, kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana.

Pangeran Cakrabuana mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan Cirebon. Dengan demikian kesultanan Cirebon didirikan oleh pangeran Cakrabuana. Seusai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana Pakungwati, serta aktif menyebarkan Islam.

Pada tahun 1479 M, kedudukan Pangeran Cakrabuana digantikan oleh keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah (1448-1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, atau juga bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Jati Purba Penetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatu Rasulullah. Pada perkembangan berikutnya ternyata banyak yang meyakini bahwa Syarif Hidayatullah adalah pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, kemudian menyebarkan Islam di Majalengka, Kuningan, Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1568, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Kosongnya kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah yang kemudian naik tahta, secara resmi menjadi sultan cirebon sejak tahun 1568. Sayangnya hanya dua tahun Fatahillah menduduki tahta Cirebon, karena ia meninggal pada 1570.

Sepeninggal Fatahillah, tahta diteruskan oleh cucu Sunan Gunung Jati, yaitu pangeran Emas. Pangeran emas kemudian bergelar panembahan Ratu I, dan memerintah cirebon selama kurang lebih 79 tahun. Setelah panembahan Ratu I meninggal pada tahun 1649, pemerintahan kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama pangeran Karim, yang dikenal dengan sebutan Panembahan Ratu II atau Panembahan Girilaya. Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma. Bersamaan dengan meninggalnya panembahan Girilaya, Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yakni para putra panembahan Girilaya ditahan di Mataram. Dengan kematian panembahan Girilaya, terjadilah kekosongan penguasa. Panembahan Girilaya meninggalkan Tiga Putra, Yaitu Pangeran Murtawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta.

Pada penobatan ketiganya di tahun 1677, kesultanan Cirebon terpecah menjadi tiga. Ketiga bagian itu dipimpin oleh tiga anak Panembahan Girilaya, yakni:

a. Pangeran Martawijaya atau Sultan Kraton Kasepuhan, dengan gelar Sepuh Abi Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)

b. Pangeran Kartawijaya atau Sultan Kanoman, dengan gelar

c. Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)

d. Pangeran Wangsakerta atau Panembahan Cirebon, Sultan Kraton Cirebon dengan gelar pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).

Perubahan gelar dari “panembahan” menjadi “sultan” bagi dua putra tertua pangeran girilaya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Sebab, keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di Ibu kota Banten. Sebagai Sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat sebagai Sultan, melainkan hanya panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para ilmuwan keraton.

Pergantian kepemimpinan para sultan di Cirebon selanjutnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803). Saat itu terjadilah pepecahan karena salah seorang putranya, yaitu pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama kesultanan Kacirebonan. Kehendak Raja Kanoman didukung oleh pemerintah belanda yang mengangkatnya menjadi Sultan Cirebon pada tahun 1807. Sejak saat itu, di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu kesultanan Kacirebonan. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sesudah kejadian tersebut, pemerintah kolonial belanda pun semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga peranan istana-istana kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya semakin surut. Puncaknya terjadi pada tahuntahun 1906 dan 1926, ketika kekuasaan pemerintahan kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan pengesahan berdirinya Kota Cirebon.

5. Kerajaan (Kesultanan) Banten

Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kelapa dan Cimanuk. Putera dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.

Puncak kejayaan Kerajaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Abdul Fatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.

Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808. Para pemimpin Kesultanan Banten adalah sebagai berikut :

a) Sunan Gunung Jati

b) Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570

c) Maulana Yusuf 1570 - 1580

d) Maulana Muhammad 1585 - 1590

e) Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640

f) Sultan Abu al Ma’ali Ahmad 1640-1650

g) Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680

h) Sultan Abdul kahar 1683-1687

i) Sultan Fadhl atau Sultan yahya 1687-1690

j) Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)

k) Muhammad Syifa Zainul Arifin/Sultan Arifin (1750-1752)

l) Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)

m)Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)

n) Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)

o) Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)

p) Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)

q) Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)

r) Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)

s) Aliyuddin II (1803-1808)

t) Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)

u) Muhammad Syafiuddin (1809-1813).

KELAS XII : PERTEMUAN KE 8 (KERAJAAN ISLAM DI JAWA I)

B. KERAJAAN ISLAM DI JAWA

1. Kerajaan Demak

Kerajaan Demak diakui sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Fatah (1500-1518 M). Mulanya, ia adalah seorang adipati di Bintoro, Demak. Raden Fatah secara terang-terangan memutuskan ikatan dengan Majapahit, yang kala itu tengah mengalami masa kemunduran. Dan atas prakarsa para wali, Ia mendirikan kerajaan Islam yang beribu kota Demak, sehingga lebih dikenal dengan Kerajaan Demak. Kesuksesan Kerajaan Demak lepas dari kekuasan Majapahit yang sedang mengalami konflik internal kekuasaan. Perang saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg yang sangat memperlemah kekuatan Majapahit.

Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Trenggono. Kerajaan Demak berhasil memainkan peran strategis sebagai basis penyebaran Islam di Jawa pada abad ke-16. Daerah kekuasaan Kerajaan Demak meliputi pesisir pantai utara Jawa. Pengaruhnya bahkan melampaui beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Pada tahun 1523-1524 M, Sunan Gunung Jati dengan tentara Kerajaan Demak berangkat menuju ke arah barat untuk menaklukkan Banten. Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai yang menyingkir dari sana setelah Samudera Pasai ditaklukkan bangsa Portugis. Sunda Kelapa dapat dikuasai dan namanya diganti menjadi Jayakarta.

Dalam mengembangkan wilayah kekuasaanya, selain melakukan ekspansi wilayah ke barat, Kerajaan Demak juga bergerak ke arah timur dan luar Jawa. Tercatat pada tahun 1527 pasukan Kerajaan Demak telah berhasil menguasai Tuban. Beberapa daerah menyusul dikuasainya pada tahun-tahun berikutnya: Wirosari/ Purwodadi (1528), Gagelang/ Madiun (1529), Medangkungan/Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535), Lamongan (1542), Wilayah Gunung Penanggungan (1543) dan menaklukkan Wilayah Kerajaan Kediri, tahun 1544, Sengguruh/Malang (1545). Dalam upayanya menguasai Kerajaan Hindu Blambangan pada tahun 1546, Sultan Trenggono meninggal dunia di Panarukan.

Menurut catatan laporan perjalanan Portugis yang ditulis oleh Loaisa di tahun 1535, di antara kerajaan Islam di Nusantara, Kerajaan Demak dianggap paling kuat dan terus-menerus melancarkan serangan pada kekuasaan Portugis. Serangan Adipati Jepara Pati Unus yang waktu itu sudah menjadi bagian dari Kerajaan Demak ke markas Portugis di Malaka pada tahun 1512-1513 M menunjukkan Demak sebagai kekuatan yang disegani dan diperhitungkan.

Paska mangkatnya Sultan Trenggono, kepemimpinan Kerajaan Islam Demak dilanjutkan oleh Sunan Prawoto namun tidak berselang lama, tragedi berdarah terjadi. Sunan Prawoto dibunuh oleh Arya Penangsang sebagai bentuk balas dendam terhadap Sunan Prawoto atas meninggalnya Sultan Trenggono. Arya Penangsangpun bernasib seperti pendahulunya. Atas kehendak taqdir, dalam dalam pertarungan satu lawan satu perlawanan Arya Penangsang berhasil dipatahkan oleh Jaka Tingkir. Dengan bantuan Kyai Gede Pamanahan dan putranya Sutawijaya, serta Ki Penjawi. Kemudian Jaka Tingkir naik tahta kerajaan dan penobatannya dilakukan oleh Sunan Giri. Setelah menjadi raja, ia bergelar Sultan Hadiwijaya dan memindahkan pusat pemerintahannya dari Demak ke Pajang.

2. Kerajaan Pajang

Jaka Tingkir, adalah sultan dan raja pertama Kerajaan Pajang yang merupakan kelanjutan dari karajaan Demak. Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah mangkat diganti oleh menantunya Arya Panggiri yang juga anak asuhan dari Prawoto. Namun putera Sultan Hadiwijaya yaitu Pangeran Benawa ingin menguasai dan tidak punya kemampuan untuk melawan Arya Panggiri, ia meminta bantuan Panembahan Senopati Penguasa Mataram untuk mengusir Arya Panggiri dan berhasil, dan akhirnya sejak itulah kerajaan Pajang dibawah kekuasaan Mataram. Perkembangannya selanjutnya, karena pada masa Sultan Agung bermaksud memberontak, maka penguasa Mataram menghancurkannya, dan berakhirlah kekuasaan Pajang pada tahun 1618 M.

3. Kerajaan Mataram Islam

Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. Sepeninggalnya, ia digantikan oleh puteranya Seda Ing Krapyak digantikan oleh puteranya, Sultan Agung (1613-1646M). Pada masa pemerintahan Sultan Agung, kontak bersenjata antara kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M. ia digantikan oleh puteranya, yaitu Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya, para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 M dan 1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah pada akhirnya menjadi sebab runtuhnya kerajaan Islam Mataram. Namun demikian, Kerajaan Islam Mataram banyak memberikan kontribusi terhadap proses kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan masih eksis sampai sekarang di Daerah Istimewa Yogyakarta di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono.

KELAS XII : PERTEMUAN KE 6 (Peran Walisanga Terhadap Peradaban Indonesia)

C. Peran Walisanga Terhadap Peradaban Indonesia

Dakwah Islam pada masa awal lebih bertumpu pada usaha para saudagar secara perorangan, namun ketika mereka telah berhasil masuk ke pemangku kebijakan (kerajaan), dakwah Islam berkembang sangat pesat. Kemajuan dakwah Islam di Indonesia cukup besar, hal ini disebabkan para adipati atau raja mereka masuk Islam. Sehingga penyebaran Islam yang dilakukan oleh para pedagang pada masa berikutnya dilanjutkan oleh para penguasa dan para wali sebagai penasehat dalam pemerintahan. Hal ini turut memberi kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan agama Islam dan sekaligus kebudayaan di tanah Indonesia.

Dalam bidang pendidikan, seluruh ulama’ penyebar Islam di Indonesia dan juga para walisanga menjadikan masjid atau pesantren sebagai pusat dakwahnya. Mereka mendidik dan mengajari masyarakat tentang agama Islam dan bidang lainnya. Keberadan pesantren atau masjid dalam dakwah menjadi dasar terbentuknya lembaga pendidikan di wilayah Indonesia.

Dalam bidang seni arsitektur, pembangunan masjid diutamakan sebagai rumah ibadah sekaligus pusat kegiatan umat. Banyak masjid yang didirikan oleh para wali yang mengembangkan gaya arsitektur yang indah dengan sentuhan etnik dan budaya lokal, contohnya, dalam pembangunan Masjid Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Masjid Agung Banten, Menara Kudus, dan Masjid Agung Baiturrahman Aceh. Keindahan arsitektur maupun ornamennya merupakan khazanah kebudayaan yang harus dijaga kelestariannya. Lebih dari itu, sentuhan budaya setempat menjadikan kehadiran masjid dapat diterima oleh rakyat, tanpa terjadi penolakan atau gejolak sebagai akibat adanya transisi ke agama baru.

Dalam bidang seni dan budaya, para wali, ulama, dan mubalig mampu membangun keharmonisan antara budaya atau tradisi lama dengan ajaran Islam. Kita mengenal di tanah Jawa kesenian wayang yang berdasar cerita Hindu Ramayana dan Mahabarata sebagai sarana dakwah para wali dan mubalig. Wayang merupakan peninggalan tradisi lama diolah dan diterjemah kembali oleh para wali dengan mengganti isinya dengan ajaran Islam. Untuk mengiringi pementasan wayang, kita kenal gamelan dan gending. Di samping seni yang memadukan dua unsur budaya, kita juga mengenal masuknya seni budaya Islam Timur Tengah ke Tanah Air seperti rebana dan qasidah.

Bidang kebudayaan, adat-istiadat yang berkembang di Indonesia banyak terpengaruh oleh peradaban Islam. Di antaranya adalah ucapan salam kepada setiap kaum muslim yang dijumpai, atau penggunaannya dalam acara-acara resmi pemerintah. Misalnya presiden kita jika ingin berbicara baik di dalam forum resmi atau tidak, selalu menggunakan ucapan salam berupa kalimat "Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh" dan banyak lagi yang lainnya. Hal itu menandai adanya pengaruh adat-istiadat Islam dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Pengaruh lainnya adalah berupa ucapan-ucapan kalimat penting dan doa, yang merupakan pengaruh dari tradisi Islam yang lestari. Misalnya, ucapan “bismillah” ketika akan melakukan sesuatu pekerjaan, juga bacaan “alhamdulillah” dalam setiap nikmat.

Demikian pula dalam bidang politik, ketika kerajaan-kerajaan Islam mengalami masa kejayaan, banyak sekali unsur politik Islam yang berpengaruh dalam sistem politik pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam. Misalnya tentang konsep khalifatullah fil ardli dan dzillullah fi ardli. Kedua konsep ini diterapkan pada pemerintah kerajaan Islam Aceh Darussalam dan kerajaan Islam Mataram. Di samping itu pada tata kota wilayah Indonesia banyak mengadaptasi sistem tata kota Islam yang memadukan antara keraton sebagai tempat aktivitas pemerintahan, masjid sebagai tempat ibadah, pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat dan alun-alun sebagai tempat berkumpulnya masyarakat.

D. Teladan Spiritual dan Intelektual

Walisanga memberikan peranan yang sangat besar terhadap perkembangan dan penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Mereka mempunyai kemampuan spiritual dan juga intelektual yang mumpuni, hal tersebut tercermin dari karya-karya mereka dalam menciptakan lagu, cerita wayang, dan simbolsimbol agama lain yang mengandung ajaran-ajaran Islam. Selain ahli dalam bidang keagamaan, kesenian maupun teknologi juga ahli tatanegara. Raden Patah menjadikan Sunan Kalijaga sebagai penasehat kerajaan, ia menjadi tempat bertanya bagi raja, terutama dalam masalah-masalah keagamaan maupun politik. Bahkan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan dan bahkan menjadi raja pertamanya, seperti Sunan Gunung Jati.

Dalam menjalankan dakwah di Jawa, para walisanga lebih mengedepankan kearifan lokal dalam menyikapi persoalan yang berkaitan dengan perbedaan antara ajaran Islam dengan tradisi setempat. Sebagai seorang sufi, para wali bersikap toleran dalam menjalankan dakwah. Bahkan tidak jarang, seni dan tradisi setempat dijadikan media dakwah untuk menarik masyarakat masuk Islam. Memahami dan menghayati biografi, sejarah, perjuangan, dan peranannya dalam mengembangkan Islam di Indonesia, maka dapat diambil hikmah dan pelajaran untuk dijadikan teladan.

1. Semangat yang sangat tinggi dalam mengembangkan ajaran Islam di Indonesia.

2. Sikap keikhlasan para wali yang mewarnai perjuangannya tanpa pamrih, bahkan berani berkorban demi umat.

3. Sikap keberanian para wali dalam melindungi dan mempertahankan wilayah Islam dari penjajahan asing.

4. Semangat spiritual para wali tidak pernah putus, hubungan dekat dengan Allah Swt. sangat menentukan keberhasilan dakwahnya.

5. Kemampuan para wali dalam melihat situasi umat, dan cepat menemukan solusi tepat untuk kemajuan dakwah Islam. Pemilihan metode dakwah yang tepat, kreatif, dan persuasif, yang membuahkan hasil maksimal.

6. Cara dakwah Sunan Muria dengan mencari daerah-daerah pedalaman dan desa-desa terpencil sangat penting ditiru agar tidak didahului dakwah umat lain.

7. Sikap solidaritas dan kepedulian sosial para wali yang tinggi terhadap nasib rakyat untuk membantu dan menyantuninya.

8. Sikap para wali menjalin hubungan dengan penguasa dan para raja sangat membantu keberhasilan dakwah.

9. Adanya jadwal pembagian wilayah dakwah agar Islam tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia.



THE HISTORISITY AND TRADITION OF PESANTREN BENDA KEREP
A Historical And Antropological Study Of Unmodernized Pesantren Benda Kerep in Argasunya, Harjamukti, Cirebon
Kairin, S.Hum
NIP : 199204102019031015

ABSTRACT :
In the fifteenth century, Islam had strived in Java. Mainly in West Java, the Islamic courts – Kraton-kraton – of Cirebon had played an enermous role at this early development of Islam. Furthermore, the second former ruler of Kraton Ciebon,[1] Syekh Syarif Hidayatullah or well known as Sunan Gunung Djati, was one of Wali Songo (the nine sints) in Java, whose descents then spreaded to the rural village around the court to build pesantrens. Therefore, between the 19th and 20th centuries, Cirebon was one of the centres of pesantren in Java by the establishment of some pesantrens. Pesantren Benda Kerep is - instead of Pesantren Buntet, Gedongan, and Kempek - one of the inheritances of the Islamic court, Kraton Cirebon. Unlike other traditional pesantrens in Cirebon, It has kept its traditions, so that it now becomes the fossil of ancient Cirebonese civilisation. However, it should eventually receive some ways of alternation.
Keywords : Tradition, Pesantren, and alternation



INTRODUCTION

When speaking about Benda Kerep, we probably do not believe that in the city zone strived an unpretentious, traditional and isolist pesantren as Benda Kerep. Its strategic position and geography as a part of the city of Cirebon preferred to keep the local culture rather than following the gobalization stream. It is also well known as an ancient fossil of traitional society in Cirebon which is still alive in a modern and techology era. The principles and norms which it held indicates that it is hidden from the nasty cultures outside. The heterogent society of Benda Kerep does not dispel their solidarity in preserving the principles and continious traditions inherited from generation to generation. Such a thing makes the writer interested to deeperly explore Pesantren Benda Kerep and be focused on research in its historic tradition and alternation
The presence of Pesantren Benda Kerep, one of the oldest pesantren in Cirebon, is related to the political escalation of Kesultanan Cirebon. The fuonding father of pesantren Benda Kerep, Kiai Sholeh Zamzami, was indeed one of the descents of Kraton Kanoman who along with his family left the court due to the intervantion of Ducth-Colonial-Government into Kraton bureaucracy. After Panembahan Ratu II or Panembahan Girilaya dead in 1662, the dominance of Cirebon was divided toward three princes : The prince Martawijaya, The prince Kartawijaya, and Pangeran Wangsakerta. The circumtance of divided Cirebon made Prince Martawijayah desired to reunite all regions of Cirebon. He, consequently, asked help of Ducth-Colonialist to grab the power of his relatives. Then it was the agreement between the court and the colonialist that Cirebon should have been a part of colonialist authority, and every court’s policy must have been suitable to the colonialist desire.[2]
This situation made the court’s family who did not agree with the colonialist left it out. They built the cottages as a learning place for people in the rural area of Cirebon. one of them was Kiai Sholeh, the founding father of Pesantren Benda Kerep in Argasunya, Harjamukti, Cirebon which is very famous with its keeping tradition and unique.

THE ESTABLISHMENT OF PESANTREN BENDA KEREP
              The history of pesantren Benda Kerep is an interply to the power political escalation of the islamic court in Cirebon in seventeenth and Eighteenth centuries. After panembahan Ratu, the ruler of Cirebon Court, was replaced by Panembahan Girilaya who passed away in jail of Islamic Mataram Kingdom. The kingdom of Cirebon was divided into three regions of court : The Prince Martawijaya reigned in Kasepuhan Court, the prince Kartawijaya ruled the Kanoman Court and the last Prince wangsakerta sat on the throne of Kaprabonan Court. Then, in order to reunite the power of kingdom Cirebon and to influence the already divided regions, the government of Dutch Colonialist came into the politic jails and intervented every roles in the body of courts. Such a case made many family of the courts choosed to hang out from courts and built a boarding school in rural area and so did Kiai Sholeh, the founder of Pesantren Benda Kerep, and his family go away from Court to build Pesantren in Cimeuweuh, a village of Kelurahan Argasunya Kecamatan[3] Harjamukti Cirebon in 1862.[4]
The land of Benda Kerep was actually part of the Kanoman Court and so was the intention of Kiai Sholeh to build pesantren on that place was the order of Kiai Anwaruddin as his uncle and friend as well. Before Kiai Sholeh established Pesantren Benda Kerep, he had along with Kiai Anwaruddin already built a pesantren and stayed in Situ Patok, Mundu. He then moved to Gegunung, Sumber and made another pesantren.[5]
Through the long ride to Gegunung, Kiai Anwaruddin acquired a clue that Kiai Sholeh who was highly tough in sufism had to move to Cimeuweuh once he was needed to conquer the unseen influences around it. Kiai Anwarudin thought that Sumber would become the centre of Cirebon government and it would give bad impact to his family and generation as well as his sufism. It was, morever, unapropiate to hide the family from crowd.
Coming from this clue, Kiai Sholeh and Kiai Anwaruddin went to Cimeuweh with the intention to conquer the land from mysterious intruption. Having arrived to that place, they both asked Allah help and safety from the hidden disturbtion. By the karomah[6] of Kiai Sholeh and Kiai Anwarudin the unseen settlers around Cimeuweuh hanged out and were submitted.[7]
The village cimeuweuh was highly popular for its eerieness. Besides, according to Kiai Miftah, the term cimeuweuh came from the word “ci-eweuh” which means to be nothing because whoever came in to the village –  which is still an untouched wood then – would disappear and never came back.[8] Untill Kiai Sholeh came to fall unseen creatures living in the wood out.
 In the other hand, based on the data collected from Kiai Miftah, a son of Kiai Faqih,[9] on the prosess of conquerring, the unseen in cimeuweuh were conquered and might have gone out from that place except two creatures : the mysterious tiger and snake. They made a deal with Kiai Sholeh that they should always protect and take care of Kiai Sholeh’s grand-sons. The information was corrected by Kiai Muhammad Nuh, a son-in-law of Kiai Hasan bin Kiai Abu Bakar bin Kiai Sholeh. Furthermore, according to Kiai Muhammad Nuh, up to the present, the people of Cimeuweuh – Benda Kerep now – often see the presence of the mysterious white tiger and a massive snake around Benda Kerep.[10]
In short, after the land of Cimeuweh was able to be conquered. The news of its conquest arrived  to Sultan Zulkarnaen, the ruling regime of Kanoman Court then, having heard the good news, the land of cimeuweuh, still belonged to him, was granted by him to Kiai Sholeh as long as it would be used to be the centre of learning Islamic knowledge and the preaching of the Islam religion. It made a familiar relationship between Benda Kerep and Kanoman Court getting tighter and tighter.[11]
By the time, Kiai Sholeh started to settle in Cimeuweuh along with his first wife nyai Menah from Pekalongan. On the first days in Cimeuweuh he built Kranggon, like a cottage as a ressidance. Because there were and are available trees of Benda spreaded across the village Cimeuweuh, people around it then named the Place Benda Kerep.[12]
The presence of Benda Kerep as a new face of Cimeuweuh had certainly attracted various intentions from Cirebon society. Morever there was a noble person having high standard of Islamic knowledge and standing with sublime attitude as well as tightly handling the principes of aqidah. As a result, many Cireboneses especially those from around Benda Kerep intended to learn and study there. It then made Benda Kerep crowder due to the students coming from out of Cirebon as well. Hence, Kiai Sholeh felt that he should have grounded the knowledge of Islam more serriously.[13] Therefore, The cottage where Kiai Sholeh and his wife lived was after that renovated to give more comfortness. Kiai Sholeh with the help of his students built the haouse which would be the first house in Benda Kerep. It still stands up on the ground with little renovaton and becomes the house of Kiai Fakih, the grand son of Kiai Sholeh from Kiai Abu Bakar.[14]
In the era of Dutch-colony, Pesantren Benda Kerep was never touched by Ducth since when they came to invade, It by the permission of god became invisible. The only did the Ducths see was not a land but the sea.[15]  Even though their land was not reached by Ducth-colony, it did not make the family of Kiai Sholeh careless of the colonialisation. As Kiai Miftah said that one of his uncle, Kiai Mas’ud, grand-son of Kiai Sholeh from Kiai Muslim, was involved in the war of independence of Republic Indonesia.[16]

KIAI SHOLEH ZAMZAMI AND HIS GENEALOGY
Genealogicly Kiai Sholeh is still the descent of Syekh Syarif hidayatullah, well-known as Sunan Gunung Djati, the former ruler of Cirebon Court. Following is the genealogy of Kiai Sholeh[17] :
Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati)

Pangeran Pasarean

Pangeran Dipati

Pangeran Panembahan


Pangeran Dipati

Pangeran Ratu
Kang seda ing Girilaya
 

Pangeran Sutajaya
Kang seda ing Tambak

Pangeran Sutajaya
Kang seda ing Grogol
 

Dalem Kebon ing Gebang
 

Dalem Anom / Sultan Senapati

Pangeran Sutajaya ing Gebang
Kocap Sultan Matangaji

Raden Bagus
 

Raden Punjul

Raden Ali

Raden Muhammad Nuruddin

Raden Muridin

KH. Muta’ad
 

KH. Abdul Jamil                       KH. Sholeh Zamzami

Kiai Sholeh is predicted to live at the same age as did Kiai Asy’ari, father of Kiai Hasyim As’ari, founder of Pesantren Tebu Ireng (1826). through a magical power of Kiai Sholeh, Benda Kerep which had been full of mystic sensation  seemed glowing with the light of Islam shining at every corner on the village. The prosess of teachimg Islam was well conducted where the verses of Koran were recited in core of the jungle. The applied Islamic teaching which always touched great value, attitude, and morality tightly adhered on every single Benda Kerep citizens.
However, on the other side, Kiai Sholeh himself was disturbed as if he felt empty that something had lost in his life. This restlessness began to appear when realizing that his only wife did not get pregnant yet whereas the presence of sons and grandsons is highly important to advance the regeneration of relay race Kiai Sholeh struggle in establishing Islamic law in Benda Kerep. By so long reflecting escorted by prayers and his wife’s blessing, he eventually took a decision to again get merried. It was then Nyai Merah from Manafizaha who was marreid as the second wife by Kiai Sholeh.[18] From the result of this marriage, the wishes of Kiai Sholeh to have generation Apparently came true. Nyai Merah gave him three children : two sons and a daughter. The males are Kiai Muslim and Kiai Abu Bakar and the only female is Nyai Qona’ah.
Ragarding the legacies of the next generaton, Kiai Muslim as the first child had seven sons, some of whom are Kiai Kaukab, Kiai Fahim, Kiai Fatin, Kiai Mas’ud, Kiai Zaeni Dahlan, and Kiai Muhtadi who have all been living in Benda Kerep as well as Kiai Sayuti who lived in Cibogo. In addition, from Kiai Abu Bakar, the second son of Kiai Sholeh, according to the information acquired that he had two sons : Kiai Hasan, the father-in-law of Kiai Muhammad Nuh and Kiai Faqih, the biological father of Kiai Miftah, who have all been living in Benda Kerep. Looked at above genealogies, it could be certain that the both sons of Kiai Sholeh and their descents mostly lived in Benda Kerep and went on Kiai Sholeh’s dedication.
The little family of Kiai Sholeh and Nyai Merah strived to have been a large family, which each child then stood alone and separated to build their own family. This new generation family more and more enlievened the whole activities in Benda Kerep, which made the people around attracted to join gathering and studying in Pesantren Benda Kerep. Besides, to celebrate the establishment of Pesantren Benda Kerep and to give prayer to dead family of Kiai Sholeh, people organize the haul ceremony which is held on Dzulhijjah, 12th, 13th, 14th or every year after the day of Idul Adha.

SYSTEMS OF TEACHING
Just like other traditional pesantrens in Cirebon, Pesantren Benda Kerep has long applied the method and educational system of traditional pesantren. The forms of teaching like sorogan, wetonan and ceramah are very common to be conducted here. The following will expand on how the sorts of teaching in the system of traditional pesantren education are practiced in Pesantren Benda Kerep from time to time.
The first is system wetonan, the main method in Pesantren education. The system wetonan applied is a lecturing system, where ustadz, the teacher of pesantren, reads a book while his students give the meaning and write some explanations needed on the book they examine. Zamakhsyari Dhofier furthermore explains that the method wetonan is a teaching on which the teacher reads, translates, explains, and reviews the Arabic books of Islam while a group of Santri listen to him/her.[19] The teaching prosess of wetonan in pesantren Benda Kerep used the salaf books correlated to contemporerary phenomenom, namely, from the salaf books examined, they then expand and correlate it to be suited with the present age which can facilitate the students to understand the content of the books. The system can be divided into some activities : (1) Wetonan after praying ( Shubuh, Dzuhur, and Isya), (2) The speedy teching at certain time and (3) The taching in month Ramadhan. The islamic books examined in daily implemented wetonan are Tafsir Jalalain, Shahih Bukhori, Sirojut Thalibi, Tanbihul Ghafilin and so on.
Secondly, the system sorogan, it is practiced in Pesantren Benda Kerep is the system of “an Active santri”. The student reads an islamic book in front of ustadz, then the ustadz asked some issues involved in the content having been read. The ordinary teaching system by sorogan is the learning  quran for beginner and Islamic salaf books for intermediate students. The books taught by this method is Safinatunnajah (emphasizing on comprehensing nahwu sharaf), Sulam Taufiq (stressing at the understanding of text) dan Fathul Qorib (presuring on concepting the text dan masail waq’iyyah).
Beside as a medium to obtain a deep understanding of Islamic books (kitab kuning), the implementation of sorogan is also made to be an arena of developing the attitudes of santri and ustadz. The teaching held which used the system of sorogan  required all students to sit circle while listening to Ustadz or kiai sitting in the middle. Both students and teacher sit on the ground in an open chamber.
Lastly, the lecture system, this is highly infrequently found and usually explained by kiai or ustadz in certain moments. The same system in Pesantren Benda Kerep is applied once a week by paying attention to muidloh hasanah or tausiyah at Thursday night before doing tahlilan. The content of the Mauidloh Hasanah is decleared by telling a story that it is supported by citational reference from Koran.
The curriculum available in Benda Kerep is basicly not far different from that in other pesantrens, since the Islamic books utilized and the teaching method applied are similar to those taught by them. Nevertheless, Pesantren Benda Kerep absolutely insists on not putting seculer lessons into its pesantren curriculum.
The activities of students and people of Benda Kerep are mostly used to learn. No day is without teaching. Besides, they are demanded to know about the grammar of Arabic and to remember Koran as well as hadits. Out of these schedules they are sunk below a ritual of tarekat or riyadloh. In addition, every Friday, students are free from any teaching activity. From thrusday night, the agenda of reciting the holy Koran is replaced by doing tahlilan, yasinan, and marhabanan in mosque of Pesantrren.

TAREKAT AND RIYADLOH
Regarding the traditions of religious ritual developing in Pesantren Benda Kerep, it was related to the flowering of islamic missionary. The use of sufism tradition as a medium of preacing has been proved to attract rural people to keep and lift the piety to god. It could be seen that one of tarekat mu’tabaroh (accepted tarekat for traditional moslems[21]) in Benda Kerep has still been thriving : tarekat syatariah.
If the mursyid, a teacher of tarekat, genealogy of this tarekat is furrowed, one of the figure correlated to this track is the founder of Pesantren Benda Kerep, Kiai Sholeh. Tarekat syatariah had established in pesantren Benda Kerep through the link of Kiai Anwaruddin (Kiai Kriyan), the student of Kiai Asy’ari from pesantren Kaliwungu Kendal, Central Java . Kiai Anwaruddin himself was in addition son-in law of Kiai Muta’ad, father of Kiai Sholeh, from Buntet Pesantren. These are the spiritual genealogy of tarekat syatariah[22] :

Nabi Muhammad

Ali bin Abi Thalib

          Husein

                               Zain al-A’bidin
 


                                    Al-Baqir
 


                                   Ja’far Shadiq
 


                          Abi Yasin Al-Busthomi
 


                           Muhammad Maghribi
 


                              Abi Yazid al-Ashaq
 


                          Al-Mudhafar Turki at-Tusi
 


                                 Hasan Khirqani
 


                                        Hadaqly
 


                                 Muhammad ‘Asyiq
 


                                              ‘Arif
 


                                    Andillah Syattari
 


                                        Qadhi Syattari
 


                                   Hidayatillah Sarmat
 


                                          Hudhari

 

                                         Al-Ghawth
 


                                        Sibghatillah
 

                                               
                                      Ahmad Syanani

                                            
            Ahmad Qasyasyi
                                      
                             Malla Ibrahim al-Mu’alla
 


                                           Thahir
 


                                           Ibrahim
 


                                     Thahir Madani
 


                           Muhammad Sayyid Madani
 


           Kiai Asy’ariau


                            Kiai Anwaruddin Kriyani


                                        Sholeh Zamzami

                                                           
                         Kiai Abdul Jamil

               Kiai Muslim     (Buntet Pesantren)                                       
                          Kiai abu Bakar

                              Kiai Faqih

                            Kiai Hasan

Kiai Anwaruddin as a founder of  tarekat syatariah in Buntet pesantren was given an authority by Kiai Asy-ari Kaliwungu to be a mursyid. The accepting authority to him can be traced through the spiritual genealogy of Kiai Anwaruddin. He, hence, was the 29th guidence of tarekat syatariah, and so did Kiai Sholeh as his conggregant become the 30th guidence or mursyid of this tarekat according to the genealogically spiritual chain to the prophet Muhammad.[23]
Kiai Sholeh inherited the tarekat to Kiai Muslim, Kiai Abu Bakar,  Kiai Faqih, Kiai Hasan, and Kiai Miftah who have been allowed to recruit their own conggregants. It could be said that there is a sort of a certain autonomy for Kiai Sholeh’s descents to recrut conggregant of tarekat syatariah. As a result, the existance of this has still been strong and even positively flowering.[24]
Futhermore, from the routines of santri in pesantren Benda Kerep, it seems that they are accustumed to practicing riyadloh such as fasting on Monday and thrusday and mujahadah, chanting holly words. The habbits became a unique tradition of the pesantren which even could survive up to now. Further, On its history, the flowering of riyadloh practicing in Benda Kerep from the past untill recently has never changed. However, the intensity and commitment to applicate the riyadloh performing experienced a little decline.
As Kiai Miftah said that the earlier santri of Benda Kerep were popular for their apprehension, Monday-thrusday fasting habit, and diligently keeping worship. Along with the alternation of age, the students coming to benda kerep are more various, some of whom are unobidient to maintan the roles and norms. Moreover, according to senior student, Farihin, morality and tradition degradation in Benda Kerep are mostly affected by the temporary students. The various obedience level and and background yield the kinds of problems. Therefore the riyadloh performed by students of benda kerep from time to time experienced lowering intensity.

TRADITION OF MULUDAN
              The biggest agenda in ceremonies of Islamic great days in Pesantren Benda Kerep is the ceremony of Maulid Nabi Muhammad (the commemoration of Muhammad’s birth day) on every Rabiul Awal[25] 12th. In this celebration, the village of Benda Kerep is as if celebrating people party. Every single house prepares “berkat” , a sort of package  for those coming to Tahlilan ceremony. It even can make a mob, probably up to thousands of people load the mosque and the yard of pesantren.
On its development, the history of the celebration of Maulid Nabi in Benda Kerep[26] was only done in the area of pesantren mosque. Along with the development of Benda Kerep zone, mainly those who came in due to political escalation in the era of an old order (1965),[27] more and more people intended to participate in the agenda of maulid. Furthermore, many of those new comers became enterpreuners and made small businesses in Jakarta which elevated the economic condition of people around Benda Kerep. It thus contributed to make the maulid ceremony crowder.[28]
In 1988, when electricity came to Benda Kerep, the celebration of maulid was not only conducted in mosque but also in houses of citizens. It could happen in some days since every house wanted to take part in providing the “berkats”, so the implementation of maulid should have been divided into 10 house each day. To fully get all houses in Benda Kerep, it could take dozens of days to finish. That is such a social religious tradition flowering in Benda Kerep. The developments of this unique tradition are historicly because of its demographic mobility and the blooming of the Benda Kerep citizens’ economy.

THE DEMAND TO WEAR MOSLEM CLOTHING
The clothing weared by santri Benda Kerep citizen must have been appropiate to the role of local tradition : wearing moslem clothings. The dress for man is remless cap and sarong, while the women should wear long-handed clothes and veil. For man especially, in the age of Kiai sholeh, it was relly forbiden to apply trousers since considered to be similiar to Ducth colonialist. Consequently, On every Friday prayer in mosque of Benda Kerep, each conggregant was demanded to use sarong which was also required to all guests visiting it to wear provided sarong and cap. Besides, it was said that in 1990s those who were unproperly dressed coming in the village would gain  a slap from an unseen creature. That is why Kiai Faqih sometimes did not receive any guest unproperly wearing : not to dress sarong and remless cap.
However, today, visiting people not applying moslem clothing are allowed to come in even though they are not respected as those properly dressing sarong and cap. Furthermore students who do not wear a cap do not accept any reprimand as it did before. In short, the perpetuation of the culture of wearing-sarong and remless cap  experiensed alternation since its appereance in very early age of Pesantren Benda Kerep up to the present.[29]

REFUSING ELECTRONIC DEVICES AND TO MAKE A BRIDGE
Regarding reconstruction of the bridge on the river of Benda Kerep and Benda Kulon,[30] the guidances and people around Benda Kerep intensionally did not build it on the river in probably order to hide the village and its settlers from Ducth colonialist. With the result that people could live and do whorship peacefully and santris were quietly able to learn without the colonialist watching. The information is strengthened by simple but critic statement of Kiai Sholeh that the presence of a bridge would cause the acculturation of local and interurban culture which would make noise from sorts of vihcles like car and motorcycle. It was distinctly about to disturb the composure and and absorption of santri and people of Benda kerep in conducting worship and learning.[31]
In 2006, one, in the name of Pesantren Benda Kerep, proposed an aid to construct a bridge. The proposal was granted by related instantion and it was going to make it real. However, the citizens and kiais of Benda kerep mostly rejected it. The project material having been carried eventually was used to build concrete heaps to accros nd embankment on the river side. Accordingly, some material as well as a heavy engine were brought by flood.
On the other point of view, the writer indicates that the existing of a bridge for Benda Kerep people would just make their economic machines disturbed. Considering at the first time of Cimeweuh opened for pesantren and village, people depended their lives on farming in rice field and hunting at the river. Eternality and sustainability of the river as well as the environment of Benda Kerep therefore became a priority, rather than building a bridge considered to crush their economic sources. Finally, inspite of the fact that the bridge was not built but a concrete heap in 2011, people could come in and out Benda Kerep.
As a trditional pesantren guarding the wisdom tradition. Benda Kerep firstly forbid the electricity to come in this village whatever the reson was, yet by the time electric generator was used from 1986 to 1988. It was followed by the effort of local government through the program Listrik Masuk Desa (the electricity comes in village) that electricity was accepted in the heart of Benda Kerep citizens in 1988. Nevertheless, it had only to be used as illumination at night and during the the prosess of learning.
The electricity in Benda Kerep also affect the modernsation of infrastructure there. It could be found that houses around Benda Kerep have imitated the modernized house styles. The progress on infrastructure after electricity came in, did not make the citizen dissapointed because they are convinced that the advancement of science and technology, being about to affect their pesantren, did not have to seen as the purpose of life itself.[32] Consequently, despite the fact that electricity and luxirious houses have decorated Benda Kerep, tradition identity and commitment toward norms still became their priority scale.


CONCLUSION
Based on the result of the deep research and discussion on historisity and tradition of Pesantren Benda Kerep in Argasunya, Harjamukti, Cirebon, it can be gained some following conclusions :
1.      Social religious tradition : including the celebration of great Islamic days such as : tradition of Maulid Prophet Muhammad, the obligation to wear moslem clothing for santri, kiai, citizen and even guests of Pesanten Benda Kerep.
2.      Tradition of religious ritual : involving activities of tarekat syatariah for Kiai, and senior student as well as conducting riyadloh to all students, and
3.      Silence tradition : it is as an effort to shelter students and citizens of Pesantren Benda Kerep from a nasty outside culture by refusing to build a bridge on their only traffic, and also impacted the banning of electronic devise utilizing like television, radio and sound speaker.



BIBLIOGRAPHY
Books
Abdullah, Irwan. 2004  Konstruksi dan Reproduksi kebudayaan,” Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Abdurrahman, Dudung, 1999. “Metode Penelitian Sejarah”, Jakarta : Logos
Ali, Mohamad. 1999. "Reorientasi Makna Pendidikan: Urgensi Pendidikan Terpadu", dalam Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid et. Al. Bandung: Pustaka Hidayah.
Azra, Azumardi. 1997. "Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan”. Jakarta : Paramida.
.................., “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III,” (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012)
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, Cet I. Jakarta: LP3ES.
Dosen-dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon,  2014. “Pondok Pesantren di Wilayah III Cirebon,” Yogyakarta : Kaukaba Dipantara
Fadjar, Malik. 1998. “Visi Pembharuan Pendidikan Islam”. Jakarta: LP3N
Fathi, Mohammad Royyani dan Farid Wajdi, 2004. “Pesantren Buntet Melintas Sejarah,”Cirebon : An-Nur Press
Francis M, Abraham, 1991. “Modern Di Dunia Ketiga,” Yogyakarta: PT. Mutiara Wacana yogya
Giddens, Antthony, 2011. “Konsekuensi-konsekuensi Modernitas,” Bantul : Kreasi Wacana
Hasan, Ahmad Zaeni. 2000. “Perlawanan dari Tanah Pengasingan Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela Negara.” Jakarta: Elsas.
Hisyam Manshur, Mohammad, 1973 “Sekilas Lintas Buntet Pesantren Mertapada Kulon Cirebon”, Buntet Pesantren Cirebon : Buntet Pesantren Press
Irianto, Bambang dan  Fatimah, 2009. “Siti Syekh Nurjati (Syekh Dzatul Kahfi) Perintis Dakwah dan Pendidikan,Cirebon: STAIN Press
Masduqi, Zaenal, 2015. “Cirebon dalam sketsa ekonomi dan tradisi,” Cirebon: Nurjati Press
Muchtarom, Zahairini, dkk. 2010. “Sejarah Pendidikan Islam.” Jakarta: Bumi Aksara.
Muhaimin, A. G. 1995. The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims, Canberra : ANU E Press.
Muhtarom H.M, 2005. “Reproduksi Ulama di Era Globalisasi Resistansi Tradisional Islam,” Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Nafi’ah, Ilman. Dan Izzati, Nurma. dkk, 2014. “Pedoman penulisan proposal/skripsi”. Cirebon : IAIN sejati press : CV. Pangger.
Pranowo, Bambang,  2011. “Memahami Islam Jawa,” Jakarta: Pustaka Alvabet,Cetakan 2
Qomar, Mujamil. 1996. “Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.” Jakarta: Erlangga.
Raharjo, Dawan. 1985. “Pergulatan Dunia Pesantren membangun dari bawah”. Jakarta: P3M.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 1995 “Teori-teori psikologi sosial”. Jakarta : PT Raja grafindo persada.
Sulton, M. dan Khusnuridlo, M. 2006. “Manajemen Pondok Pesantren Dalam Prespektif Global”.Yogyakarta: Laksbang PresSindo.
Syathori, A. 2012. “Modernisasi Pendidikan Di Pesantren (Studi Sistem Pendidikan Pesantren Al-Shighor Gedongan Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon)”. Cirebon: IAIN Syekh Nurjati.
Wahju, Amman N, 2010. “Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Kuningan),” Bandung : PUSTAKA
Zaeni Hasan, Ahmad, 2000“Perlawanan Dari Tanah Pengasingan Kiai Abbas, Pesantren Buntet, dan Bela
 Negara,” Jakarta: Elsas
Website

Interviews
An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep,  on February 22nd, 2015. at 09 : 30 am.
An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep,  on February 2nd, 2016. at 07 : 45 pm.
An interview with Nurrohman, a senior student of Pesantren Benda Kerep,  on Januari 21st, 2016,  at 00 : 30 pm.
An interview with Muhammad, a citizen of Benda Kulon,  on January 21st, 2016, at 01.15 pm.
An interview with Hamdan, a student of Pesantren Benda Kerep on February 12th, 2016 02.00 pm.
An interview with Farihin , an alumnus of Pesantren Benda Kerep, on February 12th,  2016 11.50 pm.
An interview with syatori, a citizen of Benda Kerep on February 12th, 2016 at 17.50 pm
An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep on  Februari 12th 2016  at 10.15 pm




[1] After the king Cakrabuana, an eldest son of Prabu Siliwangi.
[2] Amman N. Wahju, Sajarah Wali Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Kuningan), Bandung: PUSTAKA, 2010, p. 89. 


[4]. An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep,  on February 22nd, 2015. at 09 : 30 am.
[5]. Ibid

[6].  A peculiarity given to special one.
[7].  http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html 
[8]. An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep,  on February 22nd, 2015. at 09 : 30 am.
[9]  A grand son of Kiai Sholeh
[10] Ibid
[11] http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Ibid

[15] http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html
[16] An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep,  on February 22nd, 2015. at 09 : 30 am.
[17] Mohammad Hisyam Manshur, Sekilas Lintas Buntet Pesantren Mertapada Kulon Cirebon (Buntet Pesantren, Cirebon, 1973), p. 83-84.
[18] KH Faqihudin (salah satu pengurus ponpes Benda Kerep), dalam Blog resmi Benda Kerep; http://dalilaahsanah.blogspot.com/2011/06/sejarah-singkat-benda-kerep.html, diunduh 22 Maret 2015, 16:22 wib
 [19]Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm 143.

[20] An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep,  on February 22nd, 2015. at 09 : 30 am.
[21] Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia.

[22]Mohammad Fathi Royyani dan Farid Wajdi, Pesantren Buntet Melintas Sejarah (Cirebon : An-Nur Press, 2004), hal.
[23] A. G. Muhaimin, The Islamic traditions of Cirebon : ibadat and adat among Javanese muslims, (Canberra : ANU E Press, 1995), p. 250-251
[24] Ibid, p. 250-251
[25] The fourth month in islamic calender.
[26] Dalam perayaan maulid nabi di Benda Kerep, agenda acara utamanya adalah pembacaan barjanzi dan pembacaan tahlil untuk mendoakan para sesepuh, ulama dan warga benda kerep.

[27] An interview with Kiai Miftah, The guidence of Pesantren Benda Kerep,  on February 13td, 2016. at 10 : 15 am.
[28]  An interview with Farihin, an allumnus of Pesantren Benda Kerep,  on February 12nd, 2016. at 23 : 50 am.

[29]  An interview with Syatori, The citizen of Pesantren Benda Kerep,  on February 22nd, 2015. at 09 : 30 am.
[30]A village on the west side of Benda Kerep seperated by a river.
[31]  An interview with  nurrohman, a senior santri of Pesantren Benda Kerep,  on January 21st, 2016. at 12 : 30 am.
[32] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES. Cet I, 1982), p.167

KELAS XII : PERTEMUAN KE 13 (Perjuangan Umat Islam Pada Masa Penjajahan)

A. PERAN UMAT ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN DAN KEMERDEKAAN Penjajah datang ke Indonesia sejak awal abad ke-15. Kedatangan bangsa Portugis da...