A.
PERAN UMAT ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN DAN KEMERDEKAAN
Penjajah datang ke Indonesia sejak awal abad ke-15. Kedatangan
bangsa Portugis dan Spanyol dan dilanjutkan Belanda yang awalnya mereka datang
ke Indonesia berniat mencari dagangan rempah-rempah. Namun karena ingin
menguasai secara berlebih, Mereka menjajah bangsa Indonesia secara halus.
Perjuangan umat Islam dalam mengusir penjajah dan meraih kemerdekaan dibagi
dalam beberapa tahap perjuangan antara lain pertama, masa penjajahan dimana
perjuangan rakyat dibayangi oleh politik pecah belah (Devide at Impera), kedua
masa kebangkitan Nasional.
Pada masa penjajahan, perlawanan yang dilakukan oleh para pejuang
di daerahdaerah dengan semangat masing-masing tanpa ada pola hubungan untuk
menjalin persatuan. Belanda menerapkan politik Devide at Impera yaitu kombinasi
strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga
kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil
yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga
berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok
besar yang lebih kuat. Perlawanan di lakukan oleh Pangeran Diponegoro di Jawa,
Teuku Umar di Aceh, Pangeran Antasari di Kalimantan dan lain-lain. Perlawanan
tersebut tidak mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Pada masa kebangkitan nasional para pemuda yang belajar keluar
negeri baik itu di timur tengah maupun barat dengan semangat nasionalisme-nya
kembali ke Indonesia dan bersatu berjuang meraih kemerdekaan. Kesadaran
terhadap perjuangan yang bersifat kedaerahan seperti perang Paderi, perang
Diponegoro maupun Aceh dianggap tidak efektif dalam mengusir penjajah dari
negeri Indonesia. Kesadaran dalam menggalang semangat kebangsaan ini melahirkan
gerakan kebangkitan nasional. HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Ahmad
dahlan, KH Hasyim Asyari dan lain-lain merupakan tokoh-tokoh yang sangat
berperan dalam organisasiorganisasi pada masa kebangkitan Nasional.
Setelah Indonesia merdeka muncul tokoh-tokoh intelektual muslim
mengisi kemerdekaan dengan berbagai karyanya. Prof. HAMKA, Abdurrahman Wahid,
Habibie dan lain-lain berkarya sesuai bidangnya.
1. Perjuangan Umat Islam Pada Masa Penjajahan
a. Pangeran Diponegoro (w.1855 M)
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana
III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785
di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang ibu bernama R.A. Mangkarawati,
yang merupakan keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di
masa Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram.
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas
Antawirya. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di
Tegalrejo, terkenal sebagai orang yang amat saleh. Beliau selalu berusaha
memperdalam soal agama. Untuk memperkuat imannya, beliau sering mengasingkan
diri di tempat-tempat yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan
sendirinya banyak orang tertarik oleh kepribadiannya. Sebagai orang yang sangat
saleh, beliau tidak mementingkan keduniawian, dan selalu mengingat kepentingan
umum. Terdesak oleh keadaan maka beliau bertindak untuk mempertahankan
kedudukan para bangsawan dan membela nasib rakyat kecil.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat
sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut
putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi
salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru
berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih
Danureja di bawah pengawasan residen. Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud
dan tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa kedudukannya sebagai wali Sultan
bertentangan dengan aturan-aturan agama sehingga ia menolak pengangkatan
tersebut Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.
Perang Diponegoro (1825-1830) berawal ketika pihak Belanda memasang
patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah
muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan
sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang
Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH
Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas
di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta,
Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo
dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan
dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan dari
Sultan Hamengkubuwana III.
Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826
kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan (1) semangat perang
pasukan Diponegoro masih tinggi, (2) siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro
belum tertandingi, dan (3) sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera
Barat dalam rangka Perang Padri. Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan
perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro.
Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan
pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat
membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda lalu
menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan
Diponegoro itu. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot
Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan. Sampai
tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh
karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah
tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.
Dengan berbagai alasan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di
tempat perundingan tersebut. Diponegoro kemudian dibawa ke Menado dan pada
tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana beliau wafat pada tanggal 8
Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah bangsa Indonesia.
Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan.
Di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota
Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan
senantiasa hidup. Nama-nama tempat yang menggunakan namanya antara lain Stadion
Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun
Kodam IV/Diponegoro.
Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno pada tanggal 8 Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional
memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan
sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November
1973 melalui Keppres No.87/TK/1973
b. Teuku Umar (w.1899 M)
Salah satu pahlawan dari Aceh yang dengan gigih melawan Belanda
adalah Teuku Umar. Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun
1854, adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari
perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang
saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki. Nenek moyang Umar adalah Datuk
Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana
Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan
Sultan Iskandar Muda di Pariaman.
Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang
bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya
ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada
umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong
(kepala desa) di daerah Daya Meulaboh. Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah
dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat
dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari
Panglima Sagi XXV Mukim. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak
Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku
Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda
di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap
pos-pos Belanda.
Teuku Umar kemudian mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari
pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda
berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada
saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati
rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. aktik tersebut berhasil,
sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk
menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot
(panglima Laut).
Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan
awak kapalnya disandera oleh raja Teunom. Teuku Umar ditugaskan untuk
membebaskan kapal tersebut. Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal
"Nicero" dengan syarat diberi logistik dan senjata yang banyak
sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Teuku Umar berangkat
dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara
Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak lama, Belanda dikejutkan berita yang
menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut.
Seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak itu Teuku Umar
kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda.
Pada tanggal 10 Pebruari 1899 M, di Keudee Lhok Bubon, Teuku Umar
bersama pasukannya mengatur rencana penyerangan terhadap Belanda yang berada di
Tangsi Meulaboh. Namun rencana ini terdengar oleh Belanda, Jendral Van Heutzs
memerintahkan Letnan Ver Brugh untuk memimpin pasukannya berpatroli ke arah
Barat dengan menyusuri pantai serta melakukan penjagaan di Suak Ujong Kalak.
Teuku Umar bergerak menyusuri pantai bersama pasukannya dari Lhok Bubon menuju
Meulaboh pada malam hari tanggal 11 Pebruari 1899 M, Pasukan Belanda yang telah
lebih dahulu bersiaga di seberang Suak Ujong Kalak melepaskan tembakan. Pasukan
Teuku Umar terkepung, Peluru Belanda bersarang di dada kirinya dan usus besar,
beliau gugur sebagai Syuhada’.