2. Perjuangan umat Islam pada masa Kebangkitan Nasional
a. HOS Cokroaminoto atau Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (w.1934 M)
Lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882 dan meninggal di
Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto adalah anak
kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang
pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah
juga menjabat sebagai bupati Ponorogo. Sebagai salah satu pelopor pergerakan
nasional, ia mempunyai beberapa murid yang selanjutnya memberikan warna bagi
sejarah pergerakan Indonesia, yaitu Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang
nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling
berselisih.
Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi
Sarekat Islam. Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan
kebijakankebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang
menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan
budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada awalnya sebagai bentuk protes atas
para pedagang asing yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS
dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa
mengambil daya tawar pada bidang politik. Dan pada akhirnya tahun 1912 SDI
berubah menjadi Sarekat Islam, SI digiring menjadi partai politik setelah mendapatkan
status Badan Hukum pada10 September 1912 oleh pemerintah yang saat itu
dikontrol oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berkembang menjadi
parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada pedagang dan rakyat
Jawa-Madura saja. Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu pelopor partai
Islam yang sukses saat itu.
Perpecahan SI menjadi dua kubu karena masuknya infiltrasi komunisme
memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati kala itu. Ia bersama
rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI putih berlawanan dengan
Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda saat itu seperti Alimin, Tan
Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. Namun bagaimanapun, kewibawaan HOS
Cokroaminoto justru dibutuhkan sebagai penengah di antara kedua pecahan SI
tersebut, mengingat ia masih dianggap guru oleh Semaun. Akhirnya Semaun dan
Darsono dikeluarkan dari SI.
Pada tahun 1929, SI diusung sebagai Partai Sarikat Islam Indonesia
hingga menjadi peserta pemilu pertama pada 1955. HOS Cokroaminoto hingga saat
ini akhirnya dikenal sebagai salah satu pahlawan pergerakan nasional yang
berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata- kata mutiaranya
seperti “ Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat ”
akhirnya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang
patriotik, dan ia menjadi salah satu tokoh yang berhasil membuktikan besarnya
kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di
Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun
b. Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis (w.1923 M)
Lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan meninggal di Yogyakarta, 23
Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Dia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH
Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan
Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H.
Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada
masa itu.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Dia merupakan
anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan,
kecuali adik bungsunya. Dia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana
Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor
penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan
Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru
Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad
Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888,
ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke
Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, dia sempat berguru kepada
Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.
Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman,
Yogyakarta. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara.
Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk
kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri
bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Ahmad Dahlan telah
menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial
dan bergerak di bidang pendidikan.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu
baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan
organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah
Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu
kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain
seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di
Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah
(SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota
Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan
dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui
relasirelasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan
yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari
berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah
Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran
bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai
berikut: KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan
berbuat; Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut
kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman
dan Islam dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha
sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan
bangsa, dengan jiwa ajaran Islam dan Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian
wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap
pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria
c. Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie (w. 1947 M)
Lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 meninggal
di Jombang, Jawa Timur pada umur 76 tahun; 24 Dzul Qo'dah 1287 H- 3 Ramadhan
1366 H; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah salah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa
Islam yang terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia
dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru. K.H Hasjim
Asy'ari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asy'ari,
pemimpin Pondok Pesantren yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya
bernama Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi'ah, Ahmad
Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan.
Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy'ari memiliki garis
keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka Tingkir juga mempunyai keturunan ke raja
Hindu Majapahit, Raja Brawijaya V (Lembupeteng).
K.H. Hasjim Asy'ari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan
kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak
usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain
Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren
Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan
di Sidoarjo. Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy'ari pergi menimba ilmu ke Mekah,
dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz
at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani,
Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Di Makkah, awalnya K.H. Hasjim Asy'ari belajar di bawah bimbingan
Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama
yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Ia mendapatkan ijazah langsung dari
Syaikh Mahfudz untuk mengajar Sahih Bukhari, di mana Syaikh Mahfudz merupakan
pewaris terakhir dari pertalian penerima (Isnad) hadis dari 23 generasi
penerima karya ini. Selain belajar hadis ia juga belajar tassawuf (sufi) dengan
mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. K.H. Hasjim Asy'ari juga
mempelajari fiqih madzab Syafi'i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib dari
Minangkabau yang juga ahli dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika
(ilmu hisab), dan aljabar. Pada masa belajar pada Syaikh Ahmad Khatib inilah
K.H. Hasjim Asy'ari mempelajari Tafsir Al-Manar karya monumental Muhammad
Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas pemikiran Abduh akan tetapi
kurang setuju dengan ejekan Abduh terhadap ulama tradisionalis.
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy'ari
mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan
terpenting di Jawa pada abad 20. Pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy'ari menjadi
salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan
ulama.
Dalam upaya perjuangan untuk meraih kemerdekaan, pada tanggal 17
September 1945 fatwa Jihad telah di tanda tangani KH Hasyim Asy’ari yang
kemudian di kukuhkan dalam rapat para kyai tanggal 21-22 Oktober 1945 dan di
kenal dengan nama Resolusi Jihad. Resolusi Jihad sebagai pengobar semangat para
ulama dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam
melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selain itu juga mendesak pemerintah
agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan
kemerdekaan. Surabaya menjadi medan pertempuran antara laskar Hizbullah dan
sekutu. Berbekal fatwa Jihad yang diteguhkan dalam resolusi Jihad yang isinya
menyerukan kepada seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela
NKRI. Pertempuran 10 Nopember 1945 laskar ulama dan santri menjadi garda
terdepan dalam pertempuran. Berikut isi teks resolusi jihad Nahdlatul Ulama
sebagaimana pernah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26
tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945.
Toentoetan
Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia Soepaya mengambil
tindakan jang sepadan
Resoloesi
wakil-wakil daerah Nahdlatoel Oelama Seloeroeh Djawa-Madoera
Bismillahirrochmanir Rochim
Resoloesi :
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel
Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di Soerabaja.
Mendengar :
Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata
betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing
oentoek mempertahankan dan menegakkan agama, kedaoelatan negara repoeblik
indonesia merdeka.
Menimbang :
a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik
Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi
tiap2 orang Islam.
b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar
terdiri dari Oemmat Islam.
Mengingat:
Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada
di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang
menganggoe ketentraman oemoem.
Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed
melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali
mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang
mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.
Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat
Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan
Kemerdekaan Negara dan Agamanja.
Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat
perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang
sesoeai dengan kedjadian terseboet.
Memoetoeskan :
Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja
menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap
oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia
teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja. Seoapaja memerintahkan
melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara
Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Soerabaja, 22 Oktober 1945
NAHDLATOEL OELAMA
No comments:
Post a Comment